Pertemuan-pertemuan Itu


Sesosok Dian

Aku baru saja menginjakkan kakiku di teras rumah, ketika Mama menyambutku dengan “Tebak, siapa yang datang?”. Aku mengerenyitkan kening. Sore itu masih sama seperti sore biasanya saat aku pulang kerja. Mentari masih jingga, beberapa anak tetangga riuh bermain bola di samping rumah, juga tukang bakso yang senantiasa menunjukkan eksistensinya dengan senandung kolaborasi sendok dan pinggir mangkuk di mulut jalan. Tidak ada yang spesial rasanya. Kerut di keningku menghilang kala sosok itu akhirnya mewujud di belakang Mama. Tangannya terulur dan kami sudah berpelukkan akhirnya.
“Ya ampun Yan….., koq tambah kurus sih?” adalah komentar pertamanya.
Aku nyengir, masih mengamati sosok di hadapku dengan takjub. Dan ingatanmu berputar ke masa 4 tahun sebelumnya. Dia, Dian, yang paling sering kutumpahi keluh karena adaptasiku yang lamban pada kota kecilnya (yang kudiami saat ini) nan luar biasa sepi dan ‘tak ada apa-apa’. Dia, Dian, yang sering menemaniku berburu vcd Antonio Banderas atau Brad Pitt karena lagi-lagi di kota kecilnya ini tidak ada bioskop. Dia, Dian, yang tinggal di rumah sangat sangat sederhana, bersama sang Ibu yang tetap memilih hidup sendiri setelah ditinggal mendua suami tercinta. Yah.. Dian yang itu!
“Hey, koq bengong sih? kenapa tambah kurus?”
“Eh.. yah.. biasalah Di, diet,” alasanku sekenanya.
“Mamamu cerita banyak tadi, gila ya.. kamu tuh gak pernah berubah-berubah”
Aku mengerling Mama, yang berpura-pura asik dengan taplak meja.
“Masih gak kawin-kawin, masih gak mau membuka diri, masih gak berani naik sepeda motor, iya kan?”
Well, tiba-tiba ini jadi gak asik.
Dan tepat ketika dia bertanya “Sampai kapan, Yan?..”,
aku berkata “Aku mau Ashar dulu, yah”.
“Sama Mama ajah dulu,” imbuhku merespon wajah protesnya.
Celotehnya riuh masih hinggap di telinga saat aku berwudhu. Yah, she looks totally different! Gelantungan emas yang banyak atau suaminya yang wirausahawan di sana atau balitanya yang begitu aktif katanya dan menghabiskan berjuta untuk susu formulanya, mungkin pemicunya. Itu barometer ‘berubah’ versinya. Peningkatan kualitas diri baginya. Aah.. Di, apa kamu tau selama 4 tahun aku sudah kemana saja? karena aku tau, bagimu dunia hanya 2B, Balangan dan Balikpapan. Apa kamu tau selama 4 tahun, aku sudah menghasilkan apa? Karena aku tau, bagimu mungkin anak adalah produk utama. Apa kamu tau stagnan dan dinamis? Karena pada titik ini aku menyadari satu hal. Di.., kita hidup dalam standar yang berbeda. However, I'm happy to see you happy


Sesosok Prince Ish
“Where are you? I’m at the airport”
“Sorry Sir, I’m in lavatory hihi.., “ jawabku pada speaker phone selularku, sembari membaiki letak tshirt Volcom abu-abu yang ku pakai. Mengusap baris keringat yang entah darimana munculnya padahal kamar kecil airport ini berpendingin cukup. Dan berusaha mengatur degup tak beraturan di rongga bernama hati ke posisi normal. Jiaahh.., hiperbola banget yak bahasanya

Oia, aku di Bali! The paradise, katanya. Dan sendiri! Dan itu yang bikin agak-agak gimana gituh, karena Bali yang ada di kepalaku adalah tempat orang berbuat sesuka hati, dan itu berarti aku bisa ajah jadi korban ke-sesukahati-an mereka kan? Parno.. iyah! Faktor berikutnya adalah penjemputku ini kabarnya adalah seorang pangeran. Iyah, Prince Ish, dia menyebut dirinya.
Jadi apa yang kamu lakukan jika penjemputmu di negeri antah berantah adalah seorang pangeran? Karena inilah yang kulakukan sesaat setelah merasa cukup ‘rapih’.
#menyapa mbak yang bersih-bersih di lavatory yang keliatan banget Bali-nya, dan menanyakan berapa lama beliau sudah bekerja, yang itu artinya siap ditanya balik tentang darimana, dengan siapa, mau kemana, bertemu siapa, dan seterusnya.
#melirik jam dan handphone dan berucap “come on, Prince Ish. Where are you?”
#menyapa mas di travel agency di dekat pintu keluar bandara yang ramah banget, dan kembali menjawab pertanyaan tentang darimana, dengan siapa, mau kemana, bertemu siapa, dan seterusnya.
#kembali melirik jam dan handphone dan berucap “come on, come on, Prince Ish. Where are you? And why don’t u pick up the phone?”
#ngobrol dan berbagi permen dengan bapak kharismatik yang baru turun dari pesawat, yang baju hitamnya bertulis FK UMM, yang troli-nya dikit lagi ajah nabrak aku, dan lagi-lagi menjawab pertanyaan tentang darimana, dengan siapa, mau kemana, bertemu siapa, dan seterusnya.
Hampir saja sabar itu hilang, Hampir saja panik itu menguasai, ketika akhirnya nomor sang Pangeran berpendar-pendar di monitor handphone.
“Hey, where are you?! I’ve been waiting for you here, next to ladies’s lavatory”
“What?! Gosh! Really?.., “ celingak-celinguk ke toilet perempuan dan mendapati mbak-mbak yang tadi, melambaikan tangannya ke arahku. Tidak ada pangeran!
“Forgive me, but I’m outside now.., in front of the travel agent”
“Wait.., can you read any sign there?,” suara di seberang terdengar tak yakin
“Yeah.. domestic arrival”
Dan si Pangeran tertawa. Aku bengong.
“I’m in the international arrival, so sorry.. hahaha”
Setengah jam kemudian.
“Miss Rianti, rite?”
Aku mengangguk.
“Hi, Prince!”
“Welcome to Bali..”
“Thank you..”
“Sorry to make you wait so long.. hahaha”
“it’s okay, hehehe”
“Hungry?”
Aku mengangguk (harusnya gak yah?)
Dia kurus, tinggi, berkulit gelap.
Dia friendly dan keliatan banget orang baik.
Dan dia juga pake baju abu-abu siang itu, kalo aku gak salah inget


Sesosok Ibu di dekat jendela biskota
Aku sudah setengah perjalanan menuju Banjarmasin. Sudah puas menikmati hamparan hijau dari mulai Balangan tadi. Sudah pula melepas headset yang dengannya aku mengagumi pria-pria keren di playlistku, Craig David, Jason Mraz, Enrique Iglesias, Ronan Keating sampai akhirnya ke Afgan, ke Marcell, ke Indra Sinaga ‘Lyla’

“Mau ke Banjar, mbak?,” begitulah dialog kami dibuka. Tadinya kami cuman berlempar senyum, bertukar tawar permen.
“Iya, bu”
“Kuliah?”
Pertanyaan yang sama yang akan bikin aku bersorak di depan Niknok. Tau kenapa? Karena itu berarti makin banyak mahluk yang tidak percaya bahwa aku ini udah ‘gede banget’ (well, baca tuwir!), dan berarti bahwa diriku emang awet muda. Yippie!
“Gak, ada urusan kerjaan bu,” jawabku akhirnya
“Oia? Masih semuda ini udah kerja?”
Tuuhhh kan…… tuulll kan?
“Kebetulan begitu, bu”
“Hebat yah? Kalo ibu liat, paling masih 22 kan?
Yessss…. Yess… yesss…!


Tapi baiklah, aku sudahi saja euphoria itu. Karena ternyata beliau mengamatiku karena ingat anak laki-lakinya yang tengah dirundung masalah. Dipanggil kepala sekolah sang anak karena kedapatan berbagi kamar dengan teman wanitanya. Bolak-balik kehilangan barang-barang berharga secara regular mulai BB hingga laptop. Runtun meminta uang untuk dharma wisata. Gosh!..

Beliau adalah seorang guru. Guru yang berharap anaknya menjadi contoh baik. Aku melihat matanya berkaca dan bisa merasakan perihnya. Terlepas bijak atau tidak, sepenggal kalimat yang sempat kukatakan pada beliau kala itu adalah
“Bu, saya percaya setiap kita perlu proses untuk menjadi lebih baik.. dan putra ibu sedang dalam proses itu”
Begitu kan, ya?

0 komentar: