Belajar dari AISB


Bukan Pantai Kuta, bukan Tanah Lot, bukan Nusa Dua. Pertama kali ke Bali, aku justru ke tempat ini, Asian International School Bali, di Jimbaran. Adalah seorang Nurhisham Yusoff, penpal 2 tahun-ku yang mengabari keberadaan tempat ini, dan karenanya aku berterima kasih sekali.

Well, seperti kebanyakan sekolah bagus lainnya, sekolah ini dilengkapi dengan fasilitas baik. Gedung bak kastil, gym, kolam renang, sarana bermain, lapangan luas, kecanggihan IT. Masih ada lagi ruang Art n’ Music dan perpustakaan yang rapi. Tapi bukan semua itu yang bikin aku ingat terus tempat ini bahkan setelah seminggu kemudian (saat catatan ini dibuat). Melihat Mr. Sham, Mr. Koomar, Miss Debby mengajar, juga menyaksikan Miss Marilyn atau Mr. Steve atau Mr. Lucas berbicara tentang siswa mereka, aku melihat cinta. Passion.

Aah, lama sekali rasanya aku tidak menemukan itu, pada teman-teman berprofesi guru, pada dosen yang tiap weekend menjumpaiku, juga pada rekan-rekan di kantor, bahkan pada diriku sendiri. Bekerja dengan cinta. Sama halnya dengan membeli Magnum di tengah panas terik tapi kamu harus menempuh lebih dari 100 km berkendara untuk memperolehnya. Sama halnya dengan mendapat novel lama Sidney Sheldon seharga Rp.62.800,- dengan membarter tiket PP Banjarmasin – Palembang yang kamu punya. Mahal sekali rasanya. Padahal Om Khalil Gibran pernah berkata: "Bekerja adalah cinta yang diwujudkan. Dan jika kau tidak bisa bekerja dengan cinta, tetapi hanya dengan keengganan, lebih baik kau tinggalkan pekerjaanmu dan duduk di gerbang kuil dan menerima derma dari orang-orang yang bekerja dengan gembira."

Selain itu, para guru di AISB tidak mengutamakan tampilan luar. Tidak seperti guru yang konsisten tercetak di benak kita, they say “yes” to jeans, to bolero, to low V-neck blouse, to sandals. Tapi ketika kamu masuk ke kelasnya, kamu akan tau bahwa penampilan bukan jaminan siswamu mampu menyerap ilmu seperti harapanmu.

Juga ketika kamu bertanya tentang kurikulum yang mereka pakai, tentang efektifnya moving-class yang mereka berlakukan, tentang disiplin waktu yang tight (dan kerap membuatku mengeluh pada Mr. Sham, karena membuatku terkurung hanya di Jimbaran), kamu akan tau pendidikan di bangsa tercintamu ini, masih sangat amat jauh tertinggal di belakang, lalu kamu akan malu…. betapa mereka peduli, betapa mereka percaya, pada saatnya kita pasti bisa menyiapkan penerus bangsa yang setara.

Dan aku punya janji,
Suatu hari nanti…, Aku akan jadi seperti mereka, jadi bagian dari mereka.

2 komentar:

Niney mengatakan...

heemm..Nin juga sedang berusaha mencoba-coba tehnik yang beda dalam mengajar niy Nop. Contoh misal pas responsi Nin play music di kelas.hihi. Nin berusaha juga menggali keberanian mereka untuk menjawab pertanyaan tetapi dengan bahasa mereka sendiri dan boleh sangat berbeda dengan buku.Semester ini Nin deg2an bener. Nunggu nilai mereka. Setelah uji coba tehnik ini. Hihi..

nop rianti mengatakan...

wew!
wish cud see u teach one day, so i can make another note:p
jadi, gimana hasilnya?
dah ujian semester kan ini?