I'll Always Be Right There


I swear to you
I will always be there for you
Nothing I won’t do
I promise you
All my life I will live for you
We will make it through

(Forever) we will be, (together) you and me
Ooo.. when I hold you, nothin’ can compare.
With all of my heart, You know I’ll always be right there..

Malam meluruh jauh dan hujan masih jatuh. Rintik.

Pertemuan-pertemuan Itu


Sesosok Dian

Aku baru saja menginjakkan kakiku di teras rumah, ketika Mama menyambutku dengan “Tebak, siapa yang datang?”. Aku mengerenyitkan kening. Sore itu masih sama seperti sore biasanya saat aku pulang kerja. Mentari masih jingga, beberapa anak tetangga riuh bermain bola di samping rumah, juga tukang bakso yang senantiasa menunjukkan eksistensinya dengan senandung kolaborasi sendok dan pinggir mangkuk di mulut jalan. Tidak ada yang spesial rasanya. Kerut di keningku menghilang kala sosok itu akhirnya mewujud di belakang Mama. Tangannya terulur dan kami sudah berpelukkan akhirnya.
“Ya ampun Yan….., koq tambah kurus sih?” adalah komentar pertamanya.

Belajar dari AISB


Bukan Pantai Kuta, bukan Tanah Lot, bukan Nusa Dua. Pertama kali ke Bali, aku justru ke tempat ini, Asian International School Bali, di Jimbaran. Adalah seorang Nurhisham Yusoff, penpal 2 tahun-ku yang mengabari keberadaan tempat ini, dan karenanya aku berterima kasih sekali.

Well, seperti kebanyakan sekolah bagus lainnya, sekolah ini dilengkapi dengan fasilitas baik. Gedung bak kastil, gym, kolam renang, sarana bermain, lapangan luas, kecanggihan IT. Masih ada lagi ruang Art n’ Music dan perpustakaan yang rapi. Tapi bukan semua itu yang bikin aku ingat terus tempat ini bahkan setelah seminggu kemudian (saat catatan ini dibuat). Melihat Mr. Sham, Mr. Koomar, Miss Debby mengajar, juga menyaksikan Miss Marilyn atau Mr. Steve atau Mr. Lucas berbicara tentang siswa mereka, aku melihat cinta. Passion.

Aah, lama sekali rasanya aku tidak menemukan itu, pada teman-teman berprofesi guru, pada dosen yang tiap weekend menjumpaiku, juga pada rekan-rekan di kantor, bahkan pada diriku sendiri.

Refleksi 2 November

Aku menatap gadis di hadapanku lekat.
tidak ada yang berubah secara fisik
senyumnya masih sama
lentik tangan ringkihnya juga.
Hanya matanya yang membuatnya berbeda..
entahlah!
aku merasa dia begitu lain
begitu asing.
padahal aku mengenalnya lama
lama sekali..
ketika mamanya harus bergulat di tengah nyawa untuk mendatangkannya
ketika sang nenek yang merajutkan baju untuknya berkata: "selamat datang, cucunda"
aku menatapnya lagi
aku tau sesungguhnya aku begitu rindu
padanya..
pada sosoknya yang lama
yang tau pasti apa yang dimaui
yang tau pasti jalan yang kan dilalui
yang tau pasti cinta kadang menyakiti
selamat ulang tahun, Nona..
jadilah dirimu lagi T_T

Dialog Ha Ti



“Come on, don’t waste your time,”
Ha menepuk-nepuk pipi gadis dihadapannya. Melihat linang air matanya jatuh sesaat kemudian.
“I love him…….”
“I know that, I can feel that….”
“No, you don’t! You’re not sitting on my chair, You do not know exactly what I feel!” Ti memprotes.
“Okay..! but I do feel hurt!” Ha membela diri
“I saw you cry, I saw you mad.. and you…. alone!”

Eat Pray Love di Celoteh Makan Siangku


Elizabeth ‘Liz’ Gilbert di usia pertengahan tiga puluhannya menjalani kehidupan sempurna. Karier bagus, suami mapan, rumah megah, semua yang diimpikan wanita. Terjaga di suatu malam dan memandang sang suami tergolek di sebelahnya, membuatnya menangis. Dia mencintainya tapi tak mengerti kemana rasa itu sekarang. Dia menginginkan rumah ini tapi tak mengerti kenapa dia begitu ingin pergi. Dan ketika gejolak itu tak tertahan, dia memilih menghilang lewat pintu belakang.

Dalam proses perceraian yang mentah-mentah ditolak Stephen, suaminya, Liz bertemu David, aktor dari sebuah kelompok teater tak bernama. Tidak merasa benar-benar jatuh cinta padanya tapi Liz menjatuhkan diri di pelukkannya, sekian lama.. hingga Stephen melepasnya.
David berusia jauh di bawah Liz, hidup sederhana dengan gaji seadanya sebagai tukang cuci di sebuah perusahaan laundry, pecinta yoga, dan pengagum guru dari India. Dan tetap saja Liz kembali terjaga di suatu malam, menatap, menangisi dirinya dan berkata “aku tak bisa bersamanya!”.

Cerita Sang Raja

Dia menatap lelaki yang tengah terlelap di hadapannya. Kelelahan membayang jelas di rupawan wajahnya.
“kasihan,dia begini demi kami semua,” batinnya haru.
Spontan, jemarinya menyentuh setiap lekuk yang terpahat di sana, pelipis, mata, hidung, bibir, dagu. Hatinya dipenuhi buncahan rasa bangga, cinta. Kenyataan bahwa dirinya dipilih dari sekian wanita yang mengelilingi pria ini membuatnya senantiasa percaya kekasihnya adalah anugerah terindah di hidupnya. Dan kini… sang objek terjaga, mengeliat, mengerjapkan mata sebelum berkata lemah.
“belum tidur, Ratuku?”.
dia menggeleng.
“kenapa?”
“entahlah, selalu suka melihat wajah Yang Mulia saat tidur”
“oohh…, sini”
Dia dipeluk hangatnya sekarang, merasakan debarnya juga debar kekasihnya.
*******

Enam jam sebelumnya.
“tidak ada yang melihat kita kan, sayang?”
“sepertinya tidak” sang pria menjawab. Diamatinya sang gadis dengan seksama.
“sayang sudah siap, kan?”

Re-post My FB's Note: cuma sebuah catatan kecil di momen besar lebaran


Lagi
Lebaran kita tanpa ketupat, tanpa opor ayam
Kemarin ibu gagal dapat zakat
Terlalu banyak yang datang Sayang...
Berdesak
Bersumpah serapah
Berebut

Lebaran kita tanpa baju baru
Meski ibu tahu
Kau begitu malu dengan blus biru usang yang ibu temukan teronggok di TPA tahun lalu

Lebaran kita mungkin akan terus begini, Sayang
Tapi ingatlah
Pada puasa-puasa kita yang kerap tanpa buka, yang hanya untuk-Nya
Pada malam-malam dimana kita merasa Dia begitu ada
Pada keajaiban-keajaiban kecil yang dititipNya dalam hidup hingga kita Ridha akan apapun ketetapan-Nya
Percayalah,
Lapar kita
Dahaga kita
Kepapaan kita
Akan terbayar kelak di Surga-Nya

Selamat lebaran, Sayang...

*Petuah Lebaran Sang Pemungut Sampah kepada Anaknya*

dicatat kala derai takbir subuh nan ritmis mengalir, 20 Sep 09 jam 5.00 Wita

Ya, Pak Imam.. Anda benar!


Ada yang menarik dari dialog di Kabar Pagi TV One tadi. Sosiolog UI, Imam Prasojo, berkata bahwa saat ini negara kita berada dalam keadaan culture of fear. Kalau gak salah tangkep sih, ini adalah jenis penyakit massal yang diderita suatu komunitas karena keadaan tertentu. George W Bush, disebut-sebut pernah mengidap penyakit ini, sehingga membabi buta memburu Irak pada masa pemerintahnya. Selain itu Pak Imam juga mendeteksi gejala culture of humiliation, yang ini adalah kondisi dimana publik merasa terhina setelah acap kali dilecehkan. Penyebab kedua kondisi ini tak lain kesemrawutan yang ada dan nyata di kehidupan kita. Siapa yang tidak takut kalau ke sekolah anaknya bakal diculik, ke bank mungkin dirampok, di dapur ajah kompor kerap meledak. Belum lagi suguhan informasi yang kadang hiperbola di media massa pun elektronik, tentang teroris, tentang korupsi, tentang pornografi, atau potensi tsunami.
Sementara itu orang-orang yang disebut pihak berwenang, pihak yang disebut berwajib sibuk mengurusi kepentingannya sendiri, sibuk memikirkan apalagi yang bisa dikeruk dari negeri ini. Boro-boro

Jelaga Jiwa

di jelita
di deret 211
dicintamu saja
dicukupi aku..
ditumpahi bahagia
dibasuhi rindu

lantas kenapa

Elegi Senja

Apa kabarmu hari ini?
Masihkah ikal rambutmu teracak?
Masihkah kacamatamu bertengger di tempat seharusnya?
Akan halnya diriku, aku sedang takut
Aku mengingatmu meski mungkin kau tidak
Aku merindumu meski mungkin kau tidak
Dan aku….
menua!

Sekali Lagi Catatan tentang Negeri


"Bu, ibu pilih Bapak nomer *cencored* kan? kan kita dah dikasih duwit"
kalimat itu aku dengar kemarin, saat berniat berangkat ke te-pe-es, dari seorang bocah usia 6 tahunan yang tepat berada di depanku. Ibu anak itu sedikit terperangah tapi tak urung tersenyum padaku sembari bertanya: "dapet juga, mbak?"
Aku menggeleng, dan setelah berbasa-basi sebentar, putar haluan, kembali ke rumah, kembali ke kamar, kembali ke laptop.

Ironis!
Harusnya kejadian itu gak berlangsung di depanku, aku yang memang sudah sangat apatis terhadap penyelenggaraan pemilu. Yang sudah skeptis terhadap orang-orang yang melakukan apapun untuk jadi nomer satu. Sampai kapan begini?

sedikit cerita tentang negeriku

Konon katanya negeri tempat aku lahir ini sangat amat kaya, meski belakangan aku baru tahu setiap jiwa yang bermukim di atasnya (yang kalau menurut prediksi BPS bakal menjadi 231 juta jiwa tahun ini) ‘harus’ berpartisipasi minimal sebesar 5 juta rupiah untuk dapat membantu melunasi hutangnya. wew! Silakan hitung sendiri ajah totalnya, aku sih males

Konon pula negeri ini adalah negeri yang ramah dan bertatakrama, sampai akhirnya aku melihat tawuran sesama mahasiswa, demonstrasi berdarah, pun senioritas yang menghilangkan nyawa. Ah.., begitukah cara bersapa dan bercengkrama?